Pembukaan lahan hutan belum bawa kesejahteraan bagi warga kampong
Pembukaan hutan untuk investasi untuk perkebunan dan pengolahan kayu di papua belum membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Kegiatan itu dinilai lebih banyak menimbulkan degradasi masyarakat dan adat.
Yang jelas, warga dipedalaman kesulitan mendapatkan makanan dan obat karena hutan di buka. Hal ini mengemuka dalam paparan periset Forum Kerja Sama LSM papua, dalam kongres kehutanan I Foker di jayapura,papua. Paparan disampaikan tujuh periset yang meneliti wilayah besar adat papua, yaitu Mamta, Ha Anim, Momberai, Mee Pago, dan Saireri yang meliputi kabupaten Marauke, Boven Digul, Mappi, Teluk Bintuni, Teluk Wondama, dan lain-lain.
Pemahaman adat ini mulai bergeser ketika masyarakat di kampong melihat bahwa hutan/tanah bernilai ekonomi. Dampaknya, masyarakat terlibat konflik antara warga dalam menentukan batas kepemilikan hutan dan kehilangan identitas warga.
Masuknya berbagai perusahaan kayu yang menawarkan iming-iming uang melimpah membuat masyarakat menyerahkan hutannya untuk di tebang. Sayangnya, masyarakat tidak dapat mengelola uang ketika harus mengubah kehidupan tradisional menjadi kehidupan modern yang serba membutuhkan uang.
Pembukaan kebun kelapa sawit menyebabkan masyarakat kehilangan hutan sagu tempat mencari makanan pokokdan berbagai satwa buruan. Kabupaten Keerom seluas 936.500 hektar memiliki 9300 hektar perkebunan kelapa sawit, artinya terbesar di papua.
Kekhawatiran atas dampak pembukaan hutan untuk kelapa sawit di tuturkan periset Jago Bukit yang mengkaji wilayah adapt Ha Anim atau kabupaten Marauke dan sekitarnya. Sebuah perusahaan besar akan membuka perkebunan kelapa sawit seluas 176.000 hektar di Distrik Edera, Mappi. Di sisi lain, pemilik hak ulayat suku auwyu memiliki pengalaman dengan perkebunan karet sejak zaman Belanda. Pemerintah diharapkan memberikan kebebasan warga untuk memilih program yang sesuai. Jayapura, Kompas tanggal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar